Apa Saja Zat yang Terkandung Dalam Ganja untuk Kepentingan Medis?
![$detail['images_title']](https://img.okezone.com/content/2022/06/28/481/2619833/apa-saja-zat-yang-terkandung-dalam-ganja-untuk-kepentingan-medis-PVAT43SbbD.jpg)
GANJA medis viral di media sosial sejak Santi, seorang ibu dari anak penderita Cerebral palsy memperjuangkan pemakaiannya saat CFD di Jakarta. Disebutkan ganja bisa meringankan efek dari penyakit berat seperti kejang-kejang.
Ganja sendiri mengandung lebih dari 600 zat kimia. Di antara mereka, yang paling terkenal adalah Δ9-tetrahydrocannabinol (THC) dan phytocannabinoid cannabidiol (CBD).
Â
THC dikenal karena efek psikotropiknya yakni zat yang bikin "high". Namun produk yang mengandung THC juga digunakan untuk meredakan rasa sakit, kejang-kejang, dan pusing.
Adapun CBD memiliki sifat anti-inflamasi, anti-epilepsi, anti-psikotik, dan meredakan kegelisahan (anxiety).
Menurut David Casarett, peneliti ganja medis di Universitas Pennsylvania, mayoritas produk ganja medis dan minyak CBD umumnya mengandung konsentrasi CBD yang tinggi dan THC yang sangat rendah sehingga tidak menyebabkan high.
Seperti dilansir dari BBC, di Indonesia, ganja termasuk Narkotika Golongan I yang menurut Pasal 8 UU Narkotika dilarang digunakan untuk pelayanan kesehatan. Bagaimanapun, ayat dua pasal tersebut menyebutkan Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk penelitian dalam jumlah terbatas setelah mendapat persetujuan dari Menteri dan BPOM.
Kementerian Kesehatan sudah mengeluarkan izin penelitian ganja pada 2015, melalui surat yang ditandatangani Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan nomor LB.02.01/III.03/885/2015 tentang Izin Penelitian Menggunakan Cannabis. Namun penelitian tersebut belum terlaksana.
Menteri Kesehatan waktu itu, Nila Moeloek, beralasan biaya penelitian ganja besar dan banyak hal lain untuk diteliti dibanding ganja.
Pengetahuan mengenai efek ganja medis pada anak-anak dan remaja dengan kondisi kronis masih terbatas, meski ada bukti ilmiah kuat yang mendukung penggunaannya pada anak-anak dengan gangguan kejang yang langka.
Sebuah studi yang terbit pada 2021 menganalisis data dari 90 pengasuh anak-anak berusia di bawah 18 tahun yang menggunakan perawatan ganja medis di Swiss. Sekitar 66% partisipan studi melaporkan perbaikan kesehatan. Namun 43% pengasuh melaporkan mereka menghentikan perawatan karena kurang efektif atau muncul efek samping.
Studi tersebut menyimpulkan bahwa perlu dilakukan uji klinis acak (randomized control trial, RCT) dengan THC dan CBD yang terstandarisasi untuk menilai kemanjuran ganja medis dalam merawat berbagai penyakit serta efek jangka panjangnya pada anak-anak.
Keterangan video,
Ganja sudah digunakan masyarakat Nusantara diperkirakan sejak abad ke-12
Bagaimanapun, Ma'ruf Bajammal dari LBH Masyarakat, salah satu LSM yang menjadi pemohon dalam uji materi UU Narkotika, mengatakan ganja medis harus tetap tersedia sebagai pilihan.
"Itu pilihan pengobatan harus tidak dilarang... dan walaupun secara efikasi rendah tetapi kita tidak bisa menyanggah bahwa ada orang yang menggunakan dan mendapat kemajuan pada dirinya," kata Ma'ruf, merujuk salah satunya pada kasus Musa.
 BACA JUGA:8 Penyakit yang Diklaim Bisa Diobati dengan Ganja Medis
Menurut Ma'ruf, tidak sepatutnya seseorang yang ingin menggunakan suatu pilihan pengobatan yang tersedia dilarang oleh pemerintah karena otoritas yang berhak menentukan pilihan pengobatan terhadap dirinya adalah orang itu sendiri atau keluarganya.