Share

Hari Ginjal Sedunia, Ini Penyebab Terbanyak Penyakit Gagal Ginjal

Antara, Jurnalis · Kamis 11 Maret 2021 17:40 WIB
$detail['images_title']
Ilustrasi penyakit gagal ginjal. (Foto: Shutterstock)

HARI ini, Kamis 11 Maret 2021, diperingati sebagai Hari Ginjal Sedunia. Berbagai hal tentang kesehatan ginjal pun menjadi fokus perhatian. Di antaranya penyakit gagal ginjal dan cara penanganannya. Penyakit gagal ginjal hingga kini terbanyak disebabkan hipertensi dan diabetes yang tidak terkontrol. Ini menimbulkan komplikasi ke ginjal.

Ketua Umum Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) dr Aida Lydia mengatakan, selain dua penyakit tidak menular tersebut, penyakit gagal ginjal juga diakibatkan radang ginjal, penyakit bawaan, serta penyakit infeksi.

Baca juga: Obat Hipertensi dan Diabetes Ternyata Tidak Merusak Ginjal 

Ia melanjutkan, sebenarnya ada sejumlah tanda yang bisa dialami seseorang saat ginjalnya mengalami penurunan fungsi atau kerusakan. Misalnya, keluarnya sel darah merah dari urine, pemeriksaan darah ada peningkatan kreatinin, biopsi ginjal atau pencitraan.

"(Pemeriksaan) fungsi ginjal bisa melalui pemeriksaan LFG atau laju filtrasi glomelurus yang apabila di bawah 60 menandakan sudah ada gangguan ginjal. Apabila hasilnya di bawah angka 15, artinya sudah masuk tahap gagal ginjal atau gangguan sudah sangat lanjut," jelasnya dalam webinar, seperti dikutip dari Antara, Kamis (11/3/2021).

Ilustrasi kesehatan ginjal. (Foto: Shutterstock)

Pada tahap gagal ginjal, pasien akan membutuhkan terapi pengganti ginjal. Saat ini ada tiga pilihan terapi yakni hemodialisis (HD), continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD), serta transplantasi ginjal.

Dari sisi proses, HD dibantu mesin yang pelaksanannya dilakukan 2 hingga 3 kali seminggu di rumah sakit. Sementara CAPD bisa dilakukan mandiri di rumah atau tempat kerja dan menjadi terapi pilihan pasien dengan gangguan jantung.

Baca juga: Hari Ginjal Sedunia, Mengenal Lebih Dalam Gangguan Fungsi Ginjal 

Pada terapi HD, fungsi ginjal sisa cepat hilang; sementara CAPD mempertahankan fungsi ginjal. Kemudian dari sisi mortalitas, CAPD pada 2 sampai 3 tahun pertama lebih rendah; sementara HD 2 hingga 3 tahun pertama lebih tinggi.

"Ketiga modalitas ini terapi terintegrasi. Pasien yang CAPD suatu saat perlu HD dan sebaliknya atau mendapatkan kesempatan transplantasi. Masing-masing terapi memiliki kelebihan dan kekurangan," terang dr Aida.

Follow Berita Okezone di Google News

Di Indonesia, pasien yang menjalani hemodialisis paling banyak usia produktif yakni 45–54 tahun, diikuti usia 55–64 tahun. Terapi ini masih terbanyak dilakukan pasien dengan total 99 persen, dibanding CAPD yang baru 1 persen dari layanan terapi pengganti ginjal. Sementara itu, masih sangat sedikit pasien yang menjalani transplantasi ginjal.

Dokter spesialis ginjal sekaligus gizi dari Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) Haerani Rasyid mengatakan pasien yang mengalami masalah ginjal termasuk gagal ginjal akan mengalami keluhan-keluhan terkait pemenuhan nutrisinya seperti mual, menurunnya nafsu makan seiring penurunan fungsi ginjalnya. Akibatnya, rentan mengalami malnutrisi dan ini akan lebih menurunkan kualitas hidupnya.

Baca juga: Hari Ginjal Sedunia, Ini 5 Fakta Mengejutkan yang Terjadi di Indonesia 

"Kami coba memberikan intervensi nutrisi sesuai dengan beratnya penurunan fungsi ginjal serta modalitas terapi pada kondisi pasien, apa dia menjalani proses hemodialisis atau tidak," ungkapnya.

Intervensi nutrisi yang dilakukan berupa pemberikan gizi sehat bagi pasien dengan komponen makronutirisi seperti karbohdirat, protein dan lemak, serta mikro seperti vitamin dan mineral.

Ia mengingatkan, pasien tetap harus melakukan aktivitas fisik untuk menunjangnya hidup berkualitas. Diperlukan pemberdayaan pasien dan keluarga untuk membantu pasien menjaga kesehatannya, termasuk diet yang baik, minum obat teratur, dan melakukan aktivitas fisik sesuai kondisi pasien.

1
2
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis Okezone.com tidak terlibat dalam materi konten ini.